DETAKPAPUA.COM, JAKARTA – Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai menilai, aspek kemanusiaan menjadi alasan di balik rencana pemberian amnesti terhadap ribuan warga binaan.
Menurutnya, mereka yang akan diberi amnesti sebelumnya ditahan terkait kasus politik, UU ITE, pengguna narkotika yang semestinya direhabilitasi, mengalami gangguan jiwa dan pengidap HIV/AIDS.
“Terkait amnesti ini, salah satu yang menjadi pertimbangan adalah aspek kemanusiaan dan semangat rekonsiliasi,” kata Pigai melansir Kompas.com, Minggu (15/12/2024).
“Presiden memiliki perhatian pada aspek itu, maka tentu saja ini menjadi keputusan politik yang humanis berlandaskan HAM sebagaimana tertuang dalam poin satu Astacita,” sambungnya.
BACA JUGA: Rapat dengan Komisi XIII DPR RI, Natalius Pigai: Kebijakan Pemerintah Tak Tabrak HAM
Ia menjelaskan, narapidana yang terjerat UU ITE karena penghinaan terhadap kepala negara berkaitan erat dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Oleh sebab itu, Presiden merasa perlu untuk memberikan pengampunan.
Menurut Pigai, hal tersebut juga berlaku untuk narapidana terkait kasus Papua, narapidana yang berusia lanjut, anak-anak, gangguan jiwa, serta narapidana pengidap sakit berkepanjangan yang memerlukan perawatan khusus.
“Ini semua sangat berkaitan dengan sisi-sisi kemanusiaan dan rekonsiliasi. Masalah dengan UU ITE itu HAM, narapidana yang sakit berkepanjangan itu juga HAM. Artinya, Bapak Presiden memberi perhatian pada aspek-aspek HAM dalam pengambilan keputusannya,” tutur Pigai.
Sebelumnya, Presiden Prabowo memimpin rapat terbatas bersama sejumlah menteri Kabinet Merah Putih di Istana Kepresidenan, Jumat (13/122024).
BACA JUGA: Kementerian HAM Butuh Rp 20 Miliar, Ini Kata Menteri Natalius Pigai
Satu di antara isu yang dibahas pada rapat tersebut adalah pemberian amnesti kepada narapidana tertentu.
Menurut data Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, terdapat sekitar 44.000 narapidana yang memenuhi kriteria untuk diusulkan memperoleh amnesti.
Namun, jumlah pasti masih dalam asesmen untuk selanjutnya akan dipertimbangkan oleh DPR. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com