DETAKPAPUA.COM, JAYAPURA – World Economic Forum (WEF) menyebut bahwa masyarakat adat yang terdiri dari suku-suku di berbagai negara telah merawat lingkungan dengan sangat baik.
Bahkan seperempat wilayah Bumi yang diawasi oleh masyarakat adat memiliki kondisi yang lebih baik dibanding wilayah lain.
Posisi masyarakat adat atau orang-orang suku sangat penting bagi lestarinya planet Bumi. Untuk menghormati posisi penting ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingati Hari Masyarakat Adat Sedunia tiap tanggal 9 Agustus.
Melansir situs WEF, populasi masyarakat adat adalah 5persen dari total populasi global. Namun, dengan jumlah ini, mereka bisa melindungi 80 persen keanekaragaman hayati di planet Bumi yang tersisa.
BACA JUGA: Karnaval Budaya di Papua Pegunungan
Salah satu masyarakat adat yang terkenal dengan tradisi merawat alamnya adalah dari suku Moi, yang ada di daerah bagian pesisir utara di dataran Papua, tepatnya di wilayah Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya.
Tradisi Egek, Cara Suku Moi Merawat Alam
Dilansir situs Indonesia.go.id, suku Moi memiliki kebiasaan sejak nenek moyang untuk melaut. Maka dari itu, perahu dan suku Moi menjadi dua hal yang tak terpisahkan.
Masyarakat di sana memiliki perahu yang terbuat dari kayu di lingkungan mereka, sehingga sangat dirawat dengan baik.
Orang-orang di suku Moi memiliki kesadaran alami bahwa mereka mengambil sesuatu dari alam maka harus merawat barang itu dan alam untuk tetap lestari.
Kedekatan kehidupan masyarakat Moi dengan alam akhirnya memunculkan tradisi bernama egek.
Tradisi ini memiliki makna yakni menjaga alam dengan mengambil secukupnya dari alam, kemudian memberi jeda kepada alam untuk tumbuh dan beregenerasi.
BACA JUGA: Pawai Budaya Ekspresi Ceria Anak Papua Sambut HUT RI ke -79
Salah satu wujudnya adalah menghindari penggunaan mesin yang tidak ramah lingkungan. Maka dari itu, suku Moi lebih senang menggunakan perahu adat, ketimbang perahu bermesin.
Dengan pola hidup semacam ini, masyarakat suku Moi akan menjaga kondisi alam dengan tidak mengeksploitasinya secara berlebihan.
Sementara itu, untuk keperluan pembangunan fasilitas umum, terdapat “buka egek” yakni musyawarah masyarakat hukum adat.
Tujuan “buka egek” adalah beberapa budaya yang sudah menjadi hukum adat sehingga mereka memungkinkan mencari dana, seperti pembangunan fasilitas umum hingga terpenuhinya dananya.
Tidak hanya itu, buka egek juga dijadikan waktu bagi suku Moi untuk melaut, mengambil hasil bumi untuk konsumsi sendiri.
Selain itu, buka egek juga berlaku untuk sumber daya alam lainnya, seperti tanah dan hutan yang masih masuk wilayah suku Moi.
BACA JUGA: INI FAKTA Daun Bungkus ala Papua
Suku Moi Memiliki Hak Wilayah Seluas Total 20 Ribu Hektare di Darat dan Laut
pa yang dilakukan oleh suku Moi dengan egek, telah dilihat oleh banyak pihak termasuk pemerintah.
Masyarakat Hukum Adat (MHA) suku Moi telah berhasil mempertahankan egek sebagai upaya pelestarian lingkungan hidup.
Hal ini kemudian membuat suku Moi diakui sebagai kelompok MHA oleh Pemerintah Kabupaten Sorong pada 2017.
Dengan ini, MHA Suku Moi berhak atas wilayah kelola yang dilindungi oleh hukum seluas sekitar 4.000 hektare di perairan dan 16.000 hektare di daratan.
Meski begitu, masyarakat adat di suku Moi kini tengah menyadari pesatnya perkembangan teknologi dan globalisasi.
Hal ini dinilai membuat budaya suku Moi mulai terkikis, sehingga kurang adanya proses pewarisan budaya dari generasi tua ke generasi berikutnya.
Sayangnya, mereka juga dihadapkan pada tantangan lain yakni pihak yang ingin merusak alam. Pihak tersebut adalah perusahaan perkebunan sawit yang mencoba merampas hak-hak dari masyarakat suku.
Jika suku Moi yang sejak lama merawat planet Bumi, justru haknya dirampas, bagaimana dengan kita? Sudahkah kita merawat lingkungan tetap lestari? (*)
Artikel sudah tayang di Detik.com