DETAKPAPUA.COM, JAKARTA – Di ulang tahunnya yang ke-498, Jakarta kembali menegaskan langkahnya menuju transformasi sebagai kota sinema berbasis budaya lokal. Diskusi publik bertajuk “Jangan Takut Bikin Film Pake Smartphone: Mengenalkan Jakarta Melalui Film” menjadi sorotan dalam rangkaian perayaan hari jadi Ibu Kota, yang digelar di JTown, Jatinegara, Jakarta Timur pada Sabtu, 21 Juni 2025.
Kegiatan ini menghadirkan sejumlah tokoh penting di bidang seni dan budaya, seperti Encu Suhani (Kepala Unit Pengelola Gedung Pertunjukan Seni Budaya Taman Benyamin Sueb, mewakili Dinas Kebudayaan DKI Jakarta), Budi Sumarno (penulis buku Cinema Therapy: Jangan Takut Bikin Film Pake Smartphone), Anisa Nastiti (Creative Director Komisi Filantropi Dewan Kesenian Jakarta), dan Yahya Andi Saputra (budayawan Betawi).
Smartphone Jadi Alat Sinema, Budaya Betawi Jadi Nafas Cerita
Encu Suhani menyampaikan bahwa Jakarta tidak bisa dilepaskan dari akar budaya Betawi, yang kaya akan ekspresi seni dan tradisi. “Lenong, ondel-ondel, tanjidor, kerak telor, bir pletok—semuanya bukan hanya warisan, tapi inspirasi yang bisa divisualkan dalam medium film,” ujarnya. Ia mendukung penggunaan smartphone sebagai alat produksi film yang inklusif dan terjangkau, serta menyebutkan bahwa visi Jakarta sebagai kota sinema sejalan dengan komitmen Wakil Gubernur Rano Karno, tokoh perfilman nasional.

Budi Sumarno, penulis buku Jangan Takut Bikin Film Pake Smartphone, menjelaskan bahwa semua orang kini bisa membuat film bermodalkan kreativitas dan ponsel pintar. Buku tersebut menjadi panduan praktis untuk para sineas muda, dengan isi mulai dari peta lokasi syuting di Jakarta, hingga teknik penceritaan yang cocok untuk film pendek.
“Film bukan sekadar alat ekspresi, tapi jembatan mengenalkan budaya dan identitas kota. Jakarta punya segalanya—sejarah, budaya, dan dinamika urban yang kuat,” jelasnya.
Cerita Sederhana, Visual Kuat, dan Nuansa Lokal Jadi Kunci
Anisa Nastiti menambahkan pentingnya mengangkat cerita lokal yang sederhana namun kuat secara visual. “Gunakan lokasi yang mudah diakses, fokus pada pengalaman sehari-hari, dan sampaikan cerita lewat gambar, bukan hanya dialog,” ujarnya.
Senada, budayawan Yahya Andi Saputra mengingatkan agar film Betawi tidak terjebak pada nostalgia. “Betawi itu hidup dan dinamis. Film budaya harus merekam zaman, bukan hanya mengenang masa lalu,” katanya.
Diskusi ini mempertegas bahwa budaya Betawi bukan sekadar latar, tapi subjek utama yang bisa hidup melalui film. Dari gang sempit kampung kota hingga gedung-gedung tua, Jakarta adalah panggung besar bagi cerita rakyat urban.
“Film budaya adalah cermin sosial. Ia membentuk persepsi dan merekam perjalanan kota. Jakarta bukan hanya kota yang hidup, tapi kota yang bercerita,” tutup Encu Suhani.
Buku “Jangan Takut Bikin Film Pake Smartphone: Mengenalkan Jakarta Melalui Film” kini menjadi referensi wajib bagi generasi kreatif yang ingin menjadikan Jakarta sebagai kota sinema. Buku ini bisa dipesan langsung melalui email: budisumarno@gmail.com. (*)